27 June 2007

Falsafah Pendidikan Jasmani:

Hakikat Pendidikan Jasmani
PJKR-Unnes.Com

Written by Drs. Agus Mahendra, M.A.

Kamis, 25 Januari 2007



Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya.

Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia.

Per definisi, pendidikan jasmani diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain, misalnya pendidikan moral, yang penekanannya benar-benar pada perkembangan moral, tetapi aspek fisik tidak turut terkembangkan, baik langsung maupun secara tidak langsung.

Karena hasil-hasil kependidikan dari pendidikan jasmani tidak hanya terbatas pada manfaat penyempurnaan fisik atau tubuh semata, definisi penjas tidak hanya menunjuk pada pengertian tradisional dari aktivitas fisik. Kita harus melihat istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih luas dan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan juga tubuh.

Sungguh, pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.


Kesatuan Jiwa dan Raga

Salah satu pertanyaan sulit di sepanjang jaman adalah pemisahan antara jiwa dan raga atau tubuh. Kepercayaan umum menyatakan bahwa jiwa dan raga terpisah, dengan penekanan berlebihan pada satu sisi tertentu, disebut dualisme, yang mengarah pada penghormatan lebih pada jiwa, dan menempatkan kegiatan fisik secara lebih inferior.

Pandangan yang berbeda lahir dari filsafat monisme, yaitu suatu kepercayaan yang memenangkan kesatuan tubuh dan jiwa. Kita bisa melacak pandangan ini dari pandangan Athena Kuno, dengan konsepnya “jiwa yang baik di dalam raga yang baik.” Moto tersebut sering dipertimbangkan sebagai pernyataan ideal dari tujuan pendidikan jasmani tradisional: aktivitas fisik mengembangkan seluruh aspek dari tubuh; yaitu jiwa, tubuh, dan spirit. Tepatlah ungkapan Zeigler bahwa fokus dari bidang pendidikan jasmani adalah aktivitas fisik yang mengembangkan, bukan semata-mata aktivitas fisik itu sendiri. Selalu terdapat tujuan pengembangan manusia dalam program pendidikan jasmani.

Akan tetapi, pertanyaan nyata yang harus dikedepankan di sini bukanlah ‘apakah kita percaya terhadap konsep holistik tentang pendidikan jasmani, tetapi, apakah konsep tersebut saat ini bersifat dominan dalam masyarakat kita atau di antara pengemban tugas penjas sendiri?

Dalam masyarakat sendiri, konsep dan kepercayaan terhadap pandangan dualisme di atas masih kuat berlaku. Bahkan termasuk juga pada sebagian besar guru penjas sendiri, barangkali pandangan demikian masih kuat mengakar, entah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap falsafah penjas sendiri, maupun karena kuatnya kepercayaan itu. Yang pasti, masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari menyadari terhadap peranan dan fungsi pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran penjas di sekolahnya masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat sebelah pada aspek fisik semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan yang berat itu masih dipandang labih baik, karena ironisnya, justru program pendidikan jasmani di kita malahan tidak ditekankan ke mana-mana. Itu karena pandangan yang sudah lebih parah, yang memandang bahwa program penjas dipandang tidak penting sama sekali.

Nilai-nilai yang dikandung penjas untuk mengembangkan manusia utuh menyeluruh, sungguh masih jauh dari kesadaran dan pengakuan masyarakat kita. Ini bersumber dan disebabkan oleh kenyataan pelaksanaan praktik penjas di lapangan. Teramat banyak kasus atau contoh di mana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan menunjuk pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan jasmani di lapangan seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa yang kita praktikkan (gap antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasmani kita.


Hubungan Pendidikan Jasmani dengan Bermain dan Olahraga


Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.

Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.

Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.

Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.

Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.

Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.

Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.


Lalu bagaimana dengan rekreasi dan dansa (dance)?


Para ahli memandang bahwa rekreasi adalah aktivitas untuk mengisi waktu senggang. Akan tetapi, rekreasi dapat pula memenuhi salah satu definisi “penggunaan berharga dari waktu luang.” Dalam pandangan itu, aktivitas diseleksi oleh individu sebagai fungsi memperbaharui ulang kondisi fisik dan jiwa, sehingga tidak berarti hanya membuang-buang waktu atau membunuh waktu. Rekreasi adalah aktivitas yang menyehatkan pada aspek fisik, mental dan sosial. Jay B. Nash menggambarkan bahwa rekreasi adalah pelengkap dari kerja, dan karenanya merupakan kebutuhan semua orang.

Dengan demikian, penekanan dari rekreasi adalah dalam nuansa “mencipta kembali” (re-creation) orang tersebut, upaya revitalisasi tubuh dan jiwa yang terwujud karena ‘menjauh’ dari aktivitas rutin dan kondisi yang menekan dalam kehidupan sehari-hari. Landasan kependidikan dari rekreasi karenanya kini diangkat kembali, sehingga sering diistilahkan dengan pendidikan rekreasi, yang tujuan utamanya adalah mendidik orang dalam bagaimana memanfaatkan waktu senggang mereka.

Sedangkan dansa adalah aktivitas gerak ritmis yang biasanya dilakukan dengan iringan musik, kadang dipandang sebagai sebuah alat ungkap atau ekspresi dari suatu lingkup budaya tertentu, yang pada perkembangannya digunakan untuk hiburan dan memperoleh kesenangan, di samping sebagai alat untuk menjalin komunikasi dan pergaulan, di samping sebagai kegiatan yang menyehatkan.

Di Amerika, dansa menjadi bagian dari program pendidikan jasmani, karena dipandang sebagai alat untuk membina perbendaharaan dan pengalaman gerak anak, di samping untuk meningkatkan kebugaran jasmani serta pewarisan nilai-nilai. Meskipun menjadi bagian penjas, dansa sendiri masih dianggap sebagai cabang dari seni. Kemungkinan bahwa dansa digunakan dalam penjas terutama karena hasilnya yang mampu mengembangkan orientasi gerak tubuh. Bahkan ditengarai bahwa aspek seni dari dansa dipandang mampu mengurangi kecenderungan penjas agar tidak terlalu berorientasi kompetitif dengan memasukkan unsur estetikanya. Jadi sifatnya untuk melengkapi fungsi dan peranan penjas dalam membentuk manusia yang utuh seperti diungkap di bagian-bagian awal naskah ini.

Last Updated ( Kamis, 25 Januari 2007 )

05 June 2007

Rexy Mainaky Interview 25/3/07

Pemain terima pujian berlebihan ‘lupa diri’

Oleh Nasron Sira Rahim


Semangat juang skuad badminton masih kurang

Hasrat Malaysia memburu pingat emas dalam sukan badminton pada Sukan Olimpik tahun depan, kini disandarkan pada beregu emas negara, Koo Kien Keat-Tan Boon Heong dan pastinya ‘arkitek’ yang membentuk kejayaan beregu itu ketika ini adalah jurulatih mereka yang juga bekas pemain kebangsaan Indonesia, Rexy Mainaky. Wartawan Berita Minggu, NASRON SIRA RAHIM, menemui Rexy yang juga bekas juara Olimpik 1996 selain pelbagai lagi kejohanan berprestij dunia, untuk menilai kemampuan Malaysia menjuarai kategori beregu lelaki badminton pada Sukan Olimpik 2008 di Beijing, China. Rexy yang juga bekas jurulatih England sebelum ini turut ‘membongkar rahsia’ kemampuan pemain badminton England, Malaysia dan Indonesia dalam pertemuan pada Majlis Sukan Negara (MSN) Bukit Jalil, Selangor, baru-baru ini.

APAKAH perasaan saudara selepas anak didik Koo Kien Keat dan Tan Boon Heong memenangi Kejohanan Seluruh England, Sukan Asia Doha, Terbuka Switzerland, malah tergolong dalam kelompok 10 pasangan terbaik dunia ketika ini?


Pastinya dalam skuad kebangsaan, bukan hanya saya seorang sebagai jurulatih beregu. Ada lagi dua bekas pemain kebangsaan Malaysia sebagai jurulatih iaitu Pang Cheh Chang dan Chan Kim Wai dan mereka berdua bersama saya adalah jurulatih lelaki beregu.

Jadi untuk kita bertiga pada posisi ini (jurulatih), saya dan dua teman itu, kita pasti gembira. Dari dulu kita mampu membuat satu sejarah buat Malaysia. Biar belum menang ketika itu, hasil latihan menyebabkan pemain menang dari satu perlawanan ke satu perlawanan. Juga di hujung-hujungnya (menang) di Sukan Asia, kita sebagai jurulatih sangat gembira.

Ketika mula sampai dan bertugas sebagai jurulatih di Malaysia, apa pandangan terhadap pemain badminton kebangsaan ketika itu?

Ketika itu, bukan hal baru saya melihat pemain Malaysia beraksi. Ketika di England (sebagai jurulatih), ketika pergi ke kejohanan dengan pasukan England, saya sudah nampak pemain pasukan Malaysia termasuk Koo (Koo Kien Keat).

Koo ketika itu berpasangan dengan Gan Teik Chai. Ketika itu lawan Nathan dan Anthony (Nathan Robertson dan Anthony Clark), tetapi mereka masih kalah. Selepas itu, Nathan, Anthony dan saya sendiri berbincang. Kita cakap Koo itu bagus, dia masih muda, dia cepat dan kuat.

Saya bilang, jika dia dapat latihan baik dan mungkin dapat pasangan beregu yang baik, mungkin dia akan jadi pemain berbahaya. Nathan dan Anthony juga bersetuju dengan pandangan itu.

Selepas beberapa tahun di sana, saya datang pertama kali ke sini, saya tidak terkejut dengan pemain di sini. Tetapi saya melihat kekurangan yang ada dalam pemain itu adalah - mereka sebenarnya punya sesuatu lebih baik daripada apa yang mereka ada pada saat itu kerana mereka pemain menyerang, agresif.

Jadi saya lihat mereka semua itu pemain lebih banyak agresif. Cuma mereka difokuskan lebih banyak kepada permainan mempertahan, corak permainan mereka terlalu defensif, terlalu menunggu... begitu ya.

Jadi saya lihat ini sesuatu yang harus saya ubah. Mungkin mereka sudah memiliki satu asas dalam permainan pertahanan yang kuat, solid. Saya harus masukkan apa yang sudah mereka ada sebenarnya iaitu agresif.

Nampaknya penggabungan saya dengan apa yang mereka sudah punya itu mampu menciptakan satu hasil yang nampaknya ada kesan.

Saya bersama dua jurulatih lagi bekerjasama, saya sampaikan pendapat saya, mereka juga menyampaikan pendapat. Kita bertiga cuba bersatu pemikiran, duduk dan berbincang mencari jalan bagaimana hendak menggabungkan (idea) menjadikan pemain itu agresif.

Pemain Malaysia termasuk dalam bidang sukan lain sering dikaitkan dengan kurangnya semangat juang. Bagaimana pemerhatian Rexy sendiri ketika mula-mula sampai di sini?

Kita berbincang dan mendapati masalah pemain badminton negara, sebenarnya mereka bukan menghadapi masalah besar dalam kemahiran bermain badminton, tetapi bermasalah dalam keyakinan kendiri mereka.

Aspek psikologi, mereka punya masalah. Hampir dua tahun, kita fokus kepada kelemahan mentaliti. Di gelanggang, kita cuma perlu tinggal latihan untuk membuat pukulan tajam, tetapi fokus utama kita adalah memperbaiki kelemahan mental.

Pertama kali saya datang ke sini, tidak secara langsung Gan Teik Chai berkata kepada saya, “Coach, kenapa ya Malaysia ini? Sebenarnya kita tidak kalah dengan China, tidak kalah dengan Indonesia, Denmark atau Korea. Tetapi kenapa kita ada kelemahan. Kalau sudah mengalahkan pemain hebat atau mencapai sesuatu pada pertandingan besar seperti separuh akhir atau akhir, kita sudah berasa seperti puas.”

Itu pemain sendiri yang cakap. Sebelum ini saya sudah nampak keadaan itu pada pemain Malaysia. Saya bilang ini masalah. Saya berbincang dengan jurulatih lain dan mengatakan kita perlu banyak fokus kepada masalah itu.

Kemudian saya minta ahli psikologi Majlis Sukan Negara (MSN) untuk fokus kepada pemain. Setiap pemain saya khususkan sesi satu jam bersama ahli psikologi.

Sekarang adakah masalah kelemahan mental itu masih ketara?

Keadaan sekarang memang istilahnya masih dalam proses membentuk, tetapi (mental) mereka lebih kuat berbanding dulu. Sudah berubah dengan banyak, sudah berubah 80 peratus berbanding dulu.

Tetapi sekarang kita mahu keadaan itu konsisten. Kita masih tetap membabitkan ahli psikologi, jika kita dengar ada pemain bermasalah, kita tetap panggil ahli psikologi dan hantar pemain itu ke sana untuk cepat-cepat menjadikan mereka fokus kepada latihan.

Kita mengajar bahawa mereka harus menganggap selagi kamu belum dipastikan mendapat tempat kedua bererti kamu belum kalah. Kamu semua harus tunjukkan semangat untuk melawan. Itu yang kita selalu tanamkan.

Masalah kekurangan semangat juang kita nampak. Contohnya tahun lalu, Mohd Zakry Latif dengan Gan Teik Chai lawan pada suku akhir, pada mulanya dia sudah mengawal permainan, tetapi tiba-tiba dia seperti hilang kepercayaan diri.

Jadi kita cakap, kamu ada peluang menang. Sekarang kamu jangan anggap dia itu lebih besar daripada kamu, kamu mesti mahu kuatkan kepercayaan diri.

Selepas itu baru dia sedar. Kita perlu sentiasa mengingatkan mereka. Kita tidak boleh lepaskan mereka begitu saja. Disebabkan itu, kami tiga jurulatih ini bekerja keras dan masih memfokus kepada mentaliti mereka. Dari segi skil permainan, mereka tiada masalah.

Rexy pernah berpengalaman menjadi jurulatih di England dan Malaysia selain menjadi pemain kebangsaan Indonesia. Apakah perbezaan antara pemain di ketiga-tiga negara ini?

Ketika saya menjadi pemain untuk Indonesia, kita lihat bahawa kita tidak pernah mengalah dan berputus asa selagi kita ada peluang.

Biarpun peluang sudah tiada, kita tidak pernah berputus asa. Itu semua dalam latihan menyebabkan kita boleh menunjukkan persaingan. Itu satu sikap yang sudah terbina selama kita dalam latihan.

Kemudian saya menjadi jurulatih di England, saya lihat apa yang saya berasa di Indonesia itu, tiada pada pemain Inggeris.

Apabila saya datang ke Malaysia pula, saya lihat secara skil dan teknik, pemain Malaysia sama dengan pemain Indonesia, tetapi seperti saya cakap tadi, semangat juangnya (pemain Malaysia) masih kalah jauh dengan pemain Indonesia.

Berbanding England, di Malaysia masih ada sikap ‘tidak individu’. Di England, rata-rata pemain bersikap individu, mereka memikirkan diri sendiri. Biarpun mereka pemain beregu, mereka bersikap seperti itu, mahu latihan seorang diri.

Sebenarnya dalam permainan beregu, mereka perlu meningkatkan kemahiran beregu, tetapi pemain England lebih banyak secara individu.

Tetapi saya yang datang dari negara memiliki budaya mementingkan kekeluargaan dan tidak individu, saya memutar fikiran saya dengan budaya mereka. Bagaimana saya boleh (menukar) individual menjadi satu keluarga yang solid.

Saya perlu membuat mereka memahami, terangkan bagaimana kamu mampu melawan pemain Asia jika kamu memiliki sistem seperti ini (individu).

Saya tidak mengubah 100 peratus dengan cara Asia, tetapi saya membuat mereka secara logiknya menerima ini idea baik. Saya gabung budaya Asia – terutama dalam badminton – dengan budaya Eropah untuk menjadi sesuatu yang unik.

Saya berbincang dengan mereka dan lebih banyak cuba memahami mengapa mereka berfikiran individu sebelum membuat mereka mengerti. (Saya kata) memang saya tidak boleh mengubah sikap individu itu, jika pemikiran itu sudah tertanam sejak kamu lahir, sudah menjadi budaya kamu, tetapi kita berbincang masalah sukan dan badminton terutama untuk kamu main beregu.

Melatih pemain Eropah lebih mencabar daripada pemain Malaysia?

Ya, memang lebih sukar di England. Jika di sini, ada satu persamaan antara pemain England dan pemain Malaysia sebelum saya datang iaitu seseorang pemain itu mahu mengambil sesuatu dengan mudah.

Saya pernah tanya kepada pemain di England dulu, jika saya beri kamu 10,000 pound dengan saya beri kamu satu juta pound dengan syarat kamu menang Olimpik, kamu pilih mana?

Mereka pilih 10,000 kerana 10,000 pound itu sudah tentu mereka dapat (menang Olimpik sukar untuk dapat). Saya bilang, jika begitu kamu tidak akan maju.

Pertanyaan itu juga saya bawa dan tanya kepada pemain di sini dan mereka turut memilih yang kecil kerana itu mereka pasti akan dapat. Ia membuktikan mentaliti dan pemikiran mereka (pemain England dan Malaysia) sama. Tetapi dalam skil badmintonnya mungkin melatih pemain di sini lebih mudah.

Ketika di England, semangat juang pemain mereka bagaimana?

Ketika saya tangani dulu, kini sudah ada sedikit perubahan. Jika dulu, mereka tengok nama pemain lawan sudah rasa takut. Tetapi sekarang mereka tengok nama, (mereka berfikiran) ‘selagi belum dihentam sehingga hancur, saya ingin lawan’.

Saya memberikan satu tanggapan kepada mereka bahawa ‘dia (pemain lawan) juga bermain badminton setiap hari, dia pegang raket sama; dia juga berkaki dua, mata dua, tangan dua; apa yang harus kamu takut?

“Kamu harus berfikir sebaliknya yang dia (pemain lawan) juga sebenarnya takut kepada kamu, dia tidak tahu permainan kamu bagaimana? Dia ada nama mungkin lebih besar daripada kamu, tetapi dia tidak pernah main bersama kamu sebelum ini’. Jadi kamu harus pergi berlawan dengan satu keyakinan seperti itu. Jangan berasa takut.”

Saya selalu berkata kepada mereka, jika dalam kejohanan itu, peranan paling besar adalah mental. Jika kamu punya teknik dan skil hebat, tetapi kalau mental kamu tidak berani, bagaimana kamu mahu buat skil dan teknik itu?

Dalam latihan kamu tak fikir mengenai kekalahan, kamu mampu buat pukulan hebat, tetapi dalam pertandingan, jika mental lemah, bagaimana skil kamu mampu keluar?

Bila masuk ke dalam gelanggang, 40 peratus itu adalah teknik dan skil, tetapi 60 peratus itu kita perlu memperkuatkan aspek mental. Kekuatan mental kita jika jatuh kepada 49 peratus, manakala kekuatan mental pemain lawan 51 peratus, kita mampu kalah.

Tentunya cabaran utama bagaimana ingin terus mengekalkan mental yang kuat?

Ya itulah yang sedang kita sentiasa usahakan. Kita sebagai jurulatih, kita tidak boleh terlalu memberikan pujian berlebihan kepada pemain. Kita harus sentiasa mengingatkan, walaupun mereka menjadi juara, mereka masih memiliki kekurangan perlu diperbaiki.

Kita juga perlu menjaga pemain daripada gangguan orang di luar. Jika kita kalah, tiada orang luar mahu ikut campur. Mereka hanya mahu ikut campur dalam komen mengatakan jurulatih itu kerja tidak benar.

Tetapi pada saat kemenangan, mereka tampil berasakan kemenangan itu juga disebabkan ada peranan dan pertolongan daripada mereka. Pasti banyakkan (golongan seperti itu). Kita lihat jika ada pemain kalah, semua orang hentam jurulatih, hentam persatuan sukan itu.

Tetapi kalau menang, kita boleh lihat, orang yang tidak pernah muncul (sebelum ini), mula muncul memberi komen. Hal itu yang saya selalu ingatkan kepada pemain. Kamu harus tahu mana pihak mahu membuat kamu susah dan mana pihak mahu ‘mencari muka’.

Jika orang mahu mencari muka, mereka (pemain) kena cakap apa? (Cakap) ‘Maaf, saya tidak punya waktu, bukan sombong, tetapi saya tidak ada waktu.’

Apabila pemain kalah, golongan ini pintar mengkritik dan juga pintar mencari muka (apabila menang).

Bagaimana saudara terapkan keyakinan dan semangat juang kepada pemain?

Satu, saya menerapkan aspek kerohanian. Di sini ada (beragama) Muslim, Buddha, Kristian dan Hindu.

Jadi, sebelum latihan, harus berdoa dan selepas latihan kita bersyukur. Kita manusia dan jika hanya melihat kekuatan itu berasal daripada dirinya, maka manusia itu menjadi sombong.

Kita harus kembalikan semua itu kepada tuhan mengikut kepercayaan masing-masing. Paling penting adalah kita percaya ‘jika saya dekat dengan tuhan, maka tuhan akan menjaga saya’.

Ini tidak menjadikan kita sombong, tetapi jika kita beranggapan ‘kerana saya mempunyai smash keras, maka saya menjadi juara’, tetapi kemudian kamu cedera atau jatuh sakit lalu bagaimana?

Oleh itu, kita harus mendekatkan diri dengan tuhan dan berdoa. Sebagai orang yang punya agama, kita harus berdoa. Itu untuk kekuatan rohani kita.

Saya ketika beregu bersama Ricky Subadja, dulu, Ricky sebelum servis, dia baca bismillah. Dia kata dia merasakan ketenangan. Walaupun dia dalam keadaan tertekan, tetapi dia berasa ketenangan.

Kita selalu mengingatkan kepada pemain yang kita hanyalah seorang manusia. Kita bukan seorang yang sempurna, sebagai manusia kita ada kekurangan. Jika kita diingat begitu, kita tidak menjadi sombong kerana sombong itu akan menghancurkan.

Bagaimana Rexy melatih pemain?

Kita selalu bercakap kepada pemain yang mereka harus mengerti apa itu ‘pasangan’. Pasangan bererti ‘dua hati menjadi satu’.

Tetapi kita (pemain) perlu memahami dulu apa itu pasangan. Jika kita cuma datang main, tanpa memahami apa itu pasangan, kita main dan kita berasa ego, kita saja yang muncul (ketika perlawanan).

Jadi kita selalu menekankan bahawa kamu ini dua hati menjadi satu. Untuk menghasilkan satu pasangan beregu kukuh, kita harus buat pasangan itu memahami antara satu sama lain.

(Pemain harus berfikiran) ‘Saya perlukan pasangan kerana kekurangan saya, dia mampu tutup’. Kita harus bersatu hati. Itu yang kita cakap kepada pemain dan pemain juga terima. Begitu corak latihan kami.

Antara lain yang kita fokuskan dalam latihan di sini adalah faktor yang bukan kemahiran seperti bagaimana pemain berfikiran negatif, atau mungkin dia ada masalah di luar dengan teman wanitanya, kemudian bawa masalah itu datang latihan.

Itu kita kena tahu dulu. Kemudian kita cakap kepada pemain itu supaya dia tinggalkan semua masalah itu di luar dan kena tumpukan kepada latihan dulu, latihan seperti ketepatan smash atau kemahiran lain. Latihan itu semua mesti kena fokus.

Ada juga pemain berasa susah dalam masalah keadaan ini, tetapi kita sebagai jurulatih, kita mesti mahu memastikan sesi latihan itu berjalan dengan baik.

Apa yang perlu untuk seorang pemain badminton itu menjadi pemain hebat?

Disiplin, disiplin dan komitmen. Sekarang kalau kita bilang bakat, jika seseorang pemain itu punya bakat, tetapi dia tidak punya disiplin, dia tidak akan jadi (pemain yang hebat). Dia punya disiplin tetapi dia tidak punya bakat juga susah.

Jika dia tiada bakat, tetapi ada disiplin, kita juga mampu menjadikan (melatih dia menjadi pemain yang hebat). Itu semua yang terpenting adalah disiplin.

Kita mampu ambil contoh di Indonesia, saya selalu cakap kepada pemain. Di Indonesia ada (pemain) bagus, tetapi disiplin latihannya tidak ada. (Hasilnya) sekarang, mana dia sekarang?

Di Indonesia banyak. Taufik (Taufik Hidayat) dia hebat, menang Olimpik, Sukan Asia. (Dia menang) kerana disiplinnya tidak begini (teruk). Jadi semua berpunca dari disiplin.

Disiplin menjaga kita. Jika kita berdisiplin seperti kita mahu jaga diri kita, tidur cukup, makan yang benar, kita punya risiko untuk cedera itu kurang.

Jika kita punya bakat bagus, tetapi tidak berdisiplin sehingga cedera, susah jugakan?

Apakah yang Rexy nilai sebelum mengambil keputusan menggandingkan Koo Kien Keat dan Tan Boon Heong?

Kita mampu lihat pertamanya ialah Koo itu cepat, dia punya corak permainan agresif. Kita tengok perwatakan orang yang juga agresif.

Koo itu agresif dalam permainannya yang cepat, pergerakannya cepat jadi dia mesti punya orang di belakang yang juga agresif. Bukan orang di belakang cuma satu smash kemudian bermain biasa, kita harus punya orang mampu mengikut rentak kelajuan Koo.

Jadi orang yang mampu mengikut Koo Kien Keat punya rentak kelajuan adalah Tan Boon Heong dan dia ada cara main sepadan untuk digandingkan dengan Koo.

Adakah beregu atau pemain lain juga mampu menjadi beregu yang hebat?

Jika dilihat sekarang ini, peluang dan kemampuan mereka (semua pemain) hampir sama. Cuma sekarang kita bilang dengan disiplin dan komitmen Koo dan Tan itulah yang menyebabkan mereka berada setingkat di atas pemain lain.

Tetapi mereka (pemain lain) punya tahap juga mampu sampai di sana (pada tahap Koo dan Tan) jika mereka lebih punya komitmen.

Jika ada komitmen, mana-mana pemain mampu berjaya. Walaupun tidak punya bakat berlebihan, tetapi jika berdisiplin dan komited, dia berjaya. Juga seseorang itu semestinya harus tidak terlalu bodoh (lurus bendul) juga (ketawa).

Dengan prestasi pemain sekarang, adakah kita mampu meraih emas di Sukan Olimpik tahun depan?

Inilah yang selalu saya cakap dalam akhbar, ini bukan hanya tugas seorang. Secara kerja, inilah tanggungjawab saya sebagai jurulatih, tetapi marilah kita sama-sama masyarakat Malaysia, sesiapa yang mahu melihat Malaysia ada pingat emas di Olimpik, marilah kita sama-sama menjaga mereka, Koo dan Tan.

Jika jurulatih saja yang menjaga mereka, tetapi orang di luar tidak menjaga mereka, dan ‘merosakkan’ mereka, kita di sini susah.

Saya lihat, untuk saat ini, ia masa yang sangat tepat dengan gandingan Koo dan Tan menjadi harapan mendapatkan pingat emas. Yang penting, kita mesti menjaga mereka.

Sukan Olimpik hanya tahun depan dan masa sudah terlalu singkat. Jadi apa ditekankan ketika ini?

Ya, masa amat singkat. Sekarang kita ‘tolak kemampuan’ mereka dan usahakan supaya mampu menjadi pemain nombor satu di dunia. Kita usahakan supaya banyak latihan.

Soalan terakhir, mengapa Rexy memilih untuk melatih pemain Malaysia?

Ada satu tentangan (cabaran) juga buat saya. Jika di England, saya cuma ada pemain yang terhad, mungkin cuma satu atau dua orang.

Di Malaysia, saya melatih enam pemain dan jika saya mampu menjadikan lebih dari satu atau dua pasangan itu juara atau mungkin juara Olimpik, saya punya kemampuan sebagai jurulatih itu ada.

Jika saya tidak mampu membuat pemain Malaysia menjadi lebih baik pada pertandingan seperti Sukan Olimpik, kemampuan saya sebagai jurulatih pasti tidak adakan?. Itu satu tentangan (cabaran) buat saya.

Saya sudah komited untuk terus melatih di Malaysia, mungkin sehingga Sukan Olimpik. Jika sesudah Sukan Olimpik, kita dapat pingat emas, mungkin terus, tetapi jika kalah, pasti kena hentam lagi (ketawa).

Jadi kita harus siap sedia. Kita sebagai pemain dan jurulatih harus siap bersedia. Jika berhasil, kita jangan terlalu terbawa dengan pujian. Kita harus siap yang di lain masa, kita akan dicaci maki juga.

Jika kita hanya terbawa dengan pujian terus senang dan tidak siap dengan dicaci maki, maka jika tiba-tiba (dicaci maki), mungkin akan kena serangan jantung (ketawa).

ATHLITES FIRST, WINNING SECOND